gambar hanya ilustrasi
Menurut cerita, ada seorang anak bernama Tanghi yang sejak kecil sudah ditinggal mati kedua orang tuanya. Hidupnya tidak karuan dan luntang lantung mengharap belas kasihan orang. Akhirnya di kampung itu ada seorang duda yang merasa kasihan dengan Tanghi dan mengangkatnya menjadi anak. Tanghi kemudian dewasa dengan bimbingan dan lindungan oleh orang yang sudah dianggapnya ayah ini. Dia diajari bertanam, berburu, dan berbagai keahlian hidup lainnya. Tanghi merasa sangat menyayangi dan menghormati ayah angkatnya ini. Tiba-tiba bencana kembali mendatangi hidup Tanghi, ayah angkatnya yang sangat disayangi meninggal dunia. Sebagai remaja tanggung Tanghi sangat terpukul dan tidak tentu arah memikirkan nasib hidupnya kelak. Setelah ayahnya selesai dikuburkan, Tanghi tidak mau meninggalkan kuburan ayahnya ini, dia terus menerus menangis dan meratapi kepergian ayahnya. Selama tiga hari tiga malam Tanghi menjagai kuburan ayahnya, pada malam ketiga Tanghi merasa kelelahan dan tertidur di dekat kuburan itu.
Pada saat itulah datang Bumburaya (sejenis hantu pemakan mayat), menurut kepercayaan lama, Bumburaya ini akan datang setelah orang mati dikuburkan untuk memakan mayatnya, ini sebabnya ada kepercayaan Kaharingan menunggui orang mati sampai tiga hari di kuburannya. Selama tiga hari Tanghi menangis dikuburan ayahnya itu ternyata Bumburaya tidak berani mendekat, setelah Tanghi tertidur dikira Bumburaya kuburan itu sudah tidak ada lagi yang menjaganya. Mulailah Bumburaya dengan ganasnya menggali tanah untuk mencari mayat di dalamnya, Tanghi yang tadi tertidur tiba-tiba terbangun mendengar bunyi kuburan digali. Tanghi mencari-cari asal suara itu, dilihatnya di dalam kuburan ada makhluk asing yang hanya pernah didengarnya dari cerita orang tua dulu. Di sekitar kuburan yang digali tadi terdapat Salipang (tas kecil dari rotan yang digantungkan di bahu), menurut cerita salipang ini adalah tempat Bumburaya menyimpan ilmu kesaktiannya. Dengan mengendap-endap Tanghi mendekati salipang yang ditinggal di atas liang dan segera mengambilnya, Bumburaya terkejut mencium bau manusia hidup, segera ia bangkit dengan pandangan mengerikan dan mengancam didekatinya Tanghi yang sedang memegang salipang miliknya. Tetapi Tanghi tidak merasa gentar, karena dalam kesedihannya ia tidak peduli lagi apakah hidup atau mati.
Melihat manusia yang ada dihadapannya tidak takut, Bumburaya melunak dan berusaha membujuk Tanghi untuk mengembalikan salipang miliknya. Rupanya tanpa salipang miliknya Bumburaya tidak memiliki kekuatan apa-apa kalau ingin menghadapi manusia.
“bulikakan pang salipang ampun diaku” bujuk Bumburaya. (kembalikan salipang milikku)
“kada handak, ikam sudah maulah idabul lawan kuburan abah diaku” tolak Tanghi (tidak mau, kamu sudah berlaku jahat terhadap kuburan ayahku)
“lamun kada handak mambulikakan jua kubunuh ikam!” ancam Bumburaya (kalau tidak mau mengembalikan akan kubunuh)
“bunuh ha, aku ni kadada guna hidup di dunia lagi, kadada wadah mangadu, kadada rumah wadah banaung, baik aku mati ha daripada marista mananggung darita” tantang Tanghi (bunuhlah, tidak ada gunanya lagi aku hidup di dunia, tidak ada tempat mengadu dan rumah tempat bernaung, lebih baik mati saja daripada merana menanggung derita)
“ikam masih halus, mun balum masanya mati kada kawa diaku mambunuh ikam” kata Bumburaya (kamu masih kecil, kalau belum waktunya mati, aku tidak bisa membunuh kamu)
Adegan bujuk membujuk ini berlangsung lama, Tanghi tetap pada pendiriannya untuk minta bunuh, minta mati kepada Bumburaya. Sedangkan Bumburaya tidak mau membunuh Tanghi karena menurutnya belum waktunya Tanghi mati. Akhirnya Tanghi membujuk Bumburaya untuk menghidupkan kembali ayahnya, tetapi Bumburaya memberi peringatan bahwa tubuh ayahnya sudah sebagian hancur apabila dihidupkan akan menjadi bentuk yang mengerikan. Tanghi bersedia apapun bentuk ayahnya asal bisa tetap hidup bersamanya. Maka mulailah Bumburaya menghidupkan ayah Tanghi, ternyata memang benar saat ayah Tanghi bangkit, matanya dan sebagian besar tubuh sudah dimakan ulat dan mengerikan. Tanghi melihat kondisi ayahnya malah ketakutan, ia minta kepada Bumburaya untuk mengembalikan saja ayahnya dalam kubur. Bumburaya pun kembali mematikan ayah Tanghi dan mengembalikan mayatnya dalam kubur.
Setelah keinginan Tanghi dipenuhi ternyata Tanghi tetap tidak mau mengembalikan salipang milik Bumburaya. Tidak kehabisan akal Bumburaya pun membujuk Tanghi dengan kesaktian miliknya.
“apa maksud ikam” tanya Tanghi (apa maksudmu)
“gasan ikam kubariakan minyak nang ada di dalam salipang itu, minyaknya bahasiat banar, urang garing wan urang nang sudah mati kawa ikam tambai mun disapuakan minyak ngini” terang Bumburaya (untukmu kuberikan minyak yang ada di dalam salipang, minyaknya sangat berkhasiat, orang sakit dan orang mati bisa disembuhkan kalau diusapkan minyak ini)
“mun kaya itu, aku hakun” kata Tanghi (kalau begitu aku bersedia)
“tapi ada sabuting syaratnya, ikam kada bulih jauh-jauh manambai urang, batasnya kada bulih tapamalam di wadah urang nang ikam datangi itu” kata Bumburaya lagi (tapi ada satu syaratnya, kamu tidak boleh terlalu jauh mengobati orang, batasnya tidak boleh sampai bermalam di tempat orang yang akan diobati)
“kanapa kaya itu?” tanya Tanghi (mengapa seperti itu?)
“mun ikam kawa sakahandak hati maubati urang nang garing sampai jauh-jauh, kadada lagi kena urang mati maka kadada lagi mayat gasan aku makan” Bumburaya menerangkan (kalau kamu bisa sekehendak hati mengobati orang sampai jauh, tidak ada lagi orang yang mati, maka tidak ada mayat untuk aku makan)
Tanghi pun setuju, dikembalikannya salipang milik Bumburaya, setelah itu segera Bumburaya memberikan ilmunya serta minyak untuk mengobati orang sakit bahkan orang yang sudah mati kepada Tanghi. Akhirnya Tanghi menjadi pananambaan (tabib) yang sanggup mengobati sakit apa saja dan menghidupkan kembali orang yang mati. Nama Tanghi semakin terkenal, berduyun-duyun orang menemuinya, bagi yang sakit ringan datang sendiri, yang sakit berat didatangi ke rumah tetapi Tanghi tetap memegang syarat untuk tidak terlalu jauh menambai (mengobati) orang. Karena ketenarannya itu ia mendapat gelar Balian Mambur konon cara Balian ini masih dipakai sampai sekarang.
Dalam kepercayaan Kaharingan, upacara Balian dilakukan dengan cara : mula-mula keluarga si sakit menyediakan sepotong kayu yang diukir menyerupai manusia, ada juga berbentuk Naga dan Ular terbuat dari kayu Pulantan yang ringan. Di tengah balai disediakan tempat berbentuk lingkaran yang bernama langgatan ( tempat meletakkan peralatan upacara) disini diletakkan patung sebagai lambang dewa-dewa yang dipuja. Selama melakukan balian, gendang dibunyikan dan gelang hiyang dihentakan. Gelang Hiyang terbuat dari gangsa dan jumlah yang dipakai oleh seorang Balian menunjukkan kesaktiannya. Balian tingkat tertinggi memakai 3 gelang hiyang. Langgatan dihiasi pula dengan anyaman pucuk enau, di dalamnya diletakkan bakul dengan bermacam motif dan bentuk. Motif dan bentuk bakul ini ada yang dinamakan pipit mandi, mayang merekah, naga maulit (melingkar) dan sebagainya. Isi bakul merupakan sesajian bagi dewa-dewa berupa beras, lamang, ayam, dan lain-lain sesuai keinginan Balian. Kerja Balian dalam mengobati ini disebut batutulung. Dalam upacara batutulung orang yang sakit diletakkan membujur, dan selama siang malam sang Balian batandik (menari setengah loncat) di sekeliling orang sampai akhirnya sembuh.
Beberapa tahun kemudian Tanghi sudah tua dan berkeluarga serta semakin terkenal. Rupanya dengan ketenarannya itu dan niat baik Tanghi membuatnya lupa untuk tidak mengobati orang jauh-jauh sehingga Bumburaya tidak mempunyai makanan mayat lagi di sekitar sana dan akhirnya pergi meninggalkan Tanghi. Akibatnya ada orang yang iri dan mengetahui rahasia perjanjian Tanghi dengan Bumburaya. Saat Tanghi melakukan pengobatan yang jauh, orang yang iri itu menculik anak dan istri Tanghi kemudian membunuhnya, supaya Tanghi tidak bisa lagi menghidupkan dibakarnya mayat mereka berdua dan abunya dibuang ke sungai.
Saat Tanghi pulang dia tidak menemukan anak dan istrinya, kata orang kampung mereka berdua sudah dibunuh dan dibakar tanpa ada sisa mayatnya lagi. Mendengar ini Tanghi pun kehilangan semangat hidup, pikirnya buat apa dia bisa mengobati orang tetapi keluarga sendiri tidak bisa disembuhkan. Akhirnya Tanghi bertekad tidak ingin lagi menemui manusia, dia bersumpah bila manusia ingin bantuannya harus mengadakan upacara balian delapan hari delapan malam tanpa makan dan tidur terus menerus batandik. Setelah mengucapkan sumpah itu Tanghi menghilang jasadnya mendewata dan tidak bisa lagi ditemui manusia.
Sejak saat itu di kepercayaan Kaharingan bermunculan Balian-Balian lainnya untuk melakukan pengobatan tetapi tidak ada yang sehebat Balian Mambur yang sampai bisa menghidupkan orang mati. Balian yang lain selalu berupaya memanggil Balian Mambur tetapi tidak ada yang sanggup. Menurut kepercayaan apabila ada orang Dayak bukit sakit kemudian diobati Balian tetapi tidak berhasil berarti Balian Mambur tidak sudi datang menolong mereka. sumber
+ komentar + 1 komentar
How to Win at Baccarat - Febcasino
When you join a febcasino casino you are required to sign up to an online poker room to play at. If you deccasino are choegocasino playing against a slot machine you will need to
Posting Komentar