Sabtu, 20 April 2013

SYEKH MUHAMMAD AFIF (DATU LANDAK)

 
Datu Landak yang nama asli beliau adalah Syekh Muhammad Afif lahir di Desa Dalam Pagar Martapura Kabupaten Banjar Kalsel, silsilah beliau adalah Syeikh Muhammad Afif bin Anang Mahmud bin Jamaluddin bin Kyai Dipasunda bin Pardi (Pangeran Dipanegoro), sedari kecil beliau diasuh oleh orang tuanya yang berlimpahan dengan ilmu ilmu agama hingga beliau terkenal karena kealimannya dan ketaatannya dalam menjalankan ibadah sesuai agama beliau karena itu ALLAH banyak memberikan beliau karamah dan kesaktian,dalam satu riwayat diberi gelar Datu Landak adalah karena pada waktu berzikir seluruh badan beliau juga ikut berzikir dan segenap bulu bulu dibadan beliau memancarkan cahaya hingga tegak seperti bulu binatang landak.
Pada tahun 1897 masyarakat Martapura ingin mendirikan mesjid Jami’ yang kemudian para pengurusnya dipilih masyarakat adalah H.M.Nasir, H.M.Taher (Datu Kaya) dan H.M.Afif (Datu Landak) yang didukung oleh Raden Temenggung Kesuma Yuda dan Mufti H.M.Noor, Datu Landak diberikan kepercayaan untuk mencari kayu ulin atau kayu besi yang nantinya akan dijadikan tiang utama mesjid tersebut,dengan ditemani oleh Khalid, Idrus dan Lotoh berangkatlah mereka kepedalaman Kalimantan tengah,berbagai macam rintangan dapat mereka atasi sampai mereka bertemu dengan masyarakat pedalaman yaitu suku dayak, beliau kemudian meminta izin kepada masyarakat Dayak untuk mengambil kayu ulin yang terdapat didaerah situ,pemimpin adat suku dayak memperbolehkan beliau mengambil kayu ulin tersebut dengan syarat beliau harus mengalahkan mereka,karena kepala suku ini ingin menguji ilmu dan kesaktian beliau, sampai akhirnya beliau berhasil mengalahkan mereka dan mereka mengakuinya, sampai akhirnya mereka bersahabat,akhirnya berkat kesabaran dan kegigihan beliau bersama teman temannya akhirnya mereka menemukan kayu ulin tersebut dan sangat besar,menurut satu riwayat kayu ulin tersebut bukan ditebang seperti biasa tapi cuma dicabut begitu saja dengan tangannya kemudian ditarik beliau dengan kedua belah tangannya sampai kesungai barito, setelah diikat kayu itupun dihanyutkan disungai barito.
Konon bekas geseran batang pohon yang beliau tarik atau seret itu menjadi sungai kecil yang mengeluarkan intan yang sangat banyak sekali,oleh beliau intan intan tersebut dikumpulkan dan ditanam kembali kedalam tanah dan disekelilingnya beliau pagar dengan rumpun bamban, setelah itu beliau bersama teman temannya kembali ke Dalam Pagar Martapura.
Pada hari yang telah disepakati yaitu tepatnya pada hari minggu diputuskan untuk memancangkan atau mendirikan empat tiang utama, namun yang menjadi masalah bagaimana mendirikan keempat tiang guru mesjid yang besar dan panjangnya sama dengan tiang mesjid Sultan Suriansyah Kuin Banjarmasin tersebut, karena pada saat itu belum ada alat canggih seperti sekarang  ”tidak usah bingung, biar saya yang akan mengangkatnya ” kata Datu Landak,semua yang hadir jadi terdiam,ingin tahu yang akan diperbuat oleh Datu Landak…Puk..Puk….!!….beliau menepukkan tangan beliau kelantai dan keempat tiang utama kayu ulin yang besar tersebut serentak berdiri dengan sendirinya sesuai yang diinginkan,menyaksikan hal tersebut masyarakat yang hadir pada saat itu serentak mengucapkan ” ALLAHU AKBAR”….
Begitulah sekelumit perjalanan seorang Wali Allah, makam beliau terletak disekitar makam Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Kalampayan.
Kalau ada kekurangan dalam penulisan riwayat ini al faqir minta maaf ampun sebesar besarnya kepada saudara saudaraku semua, wabillahi taufik walhidayah assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Papan Peringatan yang lucu

Sambagai katua RT,minik jua Juhan mamikirakan badimapa supaya jalan digangnya kadada lagi sapidamutur nang balalajuan mangabut.Jalan digang situ dasar pambagusnya,ulihan batuturuk warga,nyaman,kadada balubak lalu,jadi manyamani urang,mana jadi pahantasan kajalan ganal dikampung subalah.Padahal disitu banyak kakanakan halus,banyak hayam haraguan,kada sakali dua kali suah ada nang manggisit taranjah.Dahulu suahai diulah pulisi tidur atawa kuburan ular,dipasangi tulisan2:"Jalan pelan2,banyak anak2!",kanyataannya kada diasi.Lalu diganti wan tulisan:"Ngebut?Binjut!",tatap kada diasi!Lalu Juhan maulah idabul,tulisannya diganti:"JANGAN LAJU2 BANYAK BINIAN BATILANJANG".Mantap!Imbah ada tulisan nangitu kadada lagi sapidamutur balalajuan ngabut,lalaki bibini,tuha anum,samunyaan sapidamutur jalan bagimit,sambil kapala papalingau kakanan kakiwa.


sumber

Jumat, 19 April 2013

Permainan Balogo


Balogo merupakan salah satu nama jenis permainan tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak sampai dengan remaja dan umumnya hanya dimainkan kaum pria.
Nama permainan balogo diambil dari kata logo, yaitu bermain dengan menggunakan alat logo. Logo terbuat dari bahan tempurung kelapa dengan ukuran garis tengah sekitar 5-7 cm dan tebal antara 1-2 cm dan kebanyakan dibuat berlapis dua yang direkatkandengan bahan aspal atau dempul supaya berat dan kuat. Bentuk alat logo ini bermacam-macam, ada yang berbentuk bidawang(bulus), biuku (penyu), segitiga, bentuk layang-layang, daun dan bundar.
Dalam permainnannya harus dibantu dengan sebuah alat yang disebut panapak atau kadang-kadang beberapa daerah ada yang menyebutnya dengan campa ,yakni stik atau alat pemukul yang panjangnya sekitar 40 cm dengan lebar 2 cm. Fungsi panapak atau campa ini adalah untuk mendorong logo agar bisa meluncur dan merobohkan logo pihak lawan yang dipasang saat bermain.
Permainan balogo ini bisa dilakukan satu lawan satu atau secara beregu. Jika dimainkan secara beregu, maka jumlah pemain yang “naik” (yang melakukan permainan) harus sama dengan jumlah pemain yang “pasang”
(pemain yang logonya dipasang untuk dirobohkan) Jumlah pemain beregu minimal 2 orang dan maksimal 5 orang. Dengan demikian jumlah logo yang dimainkan sebanyak jumlah pemain yang disepakati dalam permainan.
Cara memasang logo ini adalah didirikan berderet ke belakang pada garis-garis melintang. Karenanya inti dari permainan balogo ini adalah keterampilan memainkanlogo agar bisa merobohkan logo lawan yang dipasang. Regu yang paling banyak dapat merobohkan logo lawan, mereka itulah pemenangnya.
Sebagai akhir permainan, pihak yang menang disebut dengan “janggut” dan boleh mengelus-elus bagian dagu atau jenggot pihak lawan yang kalah sambil mengucapkan teriakan “janggut-janggut” secara berulang-ulang yang tentunya membuat pihak yang kalah malu, tetapi bisa menerimanya sebagai sebuah kekalahan.
Mamang dalam permainan balogo :
santuk kilan bela (muka) patah cempa sekali lagi “
Permainan balogo ini masih populer dimainkan di masyarakat Banjar hingga tahun 80-an. Sampai akhirnya dikalahkan oleh permainan elektronik modern.

  

Kamis, 18 April 2013

Budaya Adat pernikahan Banjar

Pakaian Adat Banjar
Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.

Pelaksanaan upacara perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. Hal ini dikarenakan harus melalui berbagai prosesi, antara lain :

1. Basasuluh.
Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan calon gadis yang sesuai dengan sang anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-bobot”nya terlebih dahulu. Setelah ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah gadis tersebut sudah ada yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa Banjar disebut dengan BASASULUH.
2. Batatakun atau Melamar.
Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang gadis yang telah dipilih maka dikirimlah utusan dari pihak lelaki untuk melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga lamaran yang diajukan dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima maka kedua pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
3. Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah membicarakan tentang masalah kawin. Pihak lelaki kembali mengirimkan utusan, tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin yang diminta keluarga si gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki.
Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal bersilat lidah, maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga atau tetangga dan kenalan lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata dan bersilat lidah.
Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian ditentukan pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
4. Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin kepada pihak si gadis yang maksudnya sebagai tanda pengikat. Juga sebagai pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun tetangga. Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi tentang hari pernikahan dan perkawinan.
5. Bakakawinan atau Pelaksanaan Upacara Perkawinan .
Sebelum hari pernikahan atau perkawinan, mempelai wanita mengadakan persiapan, antara lain:
a. Bapingit dan Bakasai.
Bagi calon mempelai wanita yang akan memasuki ambang pernikahan dan perkawinan, dia tidak bisa lagi bebas seperti biasanya, hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan (Bapingit).
Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan untuk merawat diri yang disebut dengan Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya atau berseri waktu disandingkan di pelaminan.
b. Batimung.
Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari pernikahan adalah banyaknya keringat yang keluar. Hal ini tentunya sangat mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan merusak bedak dan dapat membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka ditempuh cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin menjadi harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.
c. Badudus atau Bapapai.
Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang dilaksanakan sebagai proses peralihan antar masa remaja dengan masa dewasa dan juga merupakan sebagai penghalat atau penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam hari. Upacara ini dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.
d. Perkawinan (Pelaksanaan Perkawinan)
Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin untuk memasuki gerbang perkawinan. Pemilihan hari dan tanggal perkawinan disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah yang baik. Biasanya pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama.

Kegiatan pada upacara perkawinan ini antara lain:

1). Badua Salamat Pengantin.
Hal ini ditujukan untuk keselamatan pengantin dan seluruh keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan itu. Dalam hal ini pembacaan doa-doa dipimpin oleh Penghulu atau Ulama terkemuka di kampung tersebut. Selesai prosesi tersebut para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Hal ini berlangsung hingga acara Maarak Pengantin.
2). Bahias atau Merias Pengantin.
Sekitar jam 10 pagi, tukang rias sudah datang ke rumah mempelai wanita untuk merias. Kegiatan ini meliputi tata rias muka, rambut dan pakian, serta kelengkapan lainnya seperti Palimbayan dan lainnya. Bagi pengantin pria, bahias ini dilakukan setelah sholat Zuhur.
3). Maarak Pengantin.
Apabila pihak pengantin sudah siap berpakaian, maka segera dikirim utusan kepada pihak pria bahwa mempelai wanita sudah menunggu kedatangan mempelai pria. Maka kemudian diadakanlah upacara Maarak Pengantin. Pada waktu maarak pengantin biasanya diiringi dengan kesenian Sinoman Hadrah atau Kuda Gepang. Pihak wanita juga mengadakan hal yang sama untuk menyambut mempelai pria juga untuk menghibur para undangan.
maara2k
4). Batatai atau Basanding.
Kedatangan pengantin pria disambut dengan Salawat Nabi dan ketika Salawat itu dikumandangkan pengantin wanita keluar dari dinding kurung untuk menyambut pengantin pria. Di muka pintu, pengantin pria disambut oleh pengantin wanita, untuk beberapa saat mereka bersanding di muka pintu, kemudian mereka di bawa ke Balai Warti untuk bersanding secara resmi.
batatai
Apabila telah cukup waktu bersanding, kedua mempelai diturunkan dari Balai Warti untuk kemudian dinaikkan keusungan atau dinamakan Usung Jinggung, yang diiringi kesenian Kuda Gepang. Setelah di Usung Jinggung kedua mempelai disandingkan di petataian pengantin yang disebut Geta Kencana. Kemudian dilanjutkan dengan sujud kepada orang tua pengantin wanita dan para hadirin serta memakan nasi pendapatan (Badadapatan). Setelah itu kedua pengantin berganti pakaian untuk istirahat.
e. Bajajagaan Pengantin
Pada malam hari pertama sampai ketiga sejak hari perkawinan, biasanya diadakan acara Bajajagaan atau menjagai pengantin, yang isinya dengan pertunjukan kesenian, seperti Bahadrah atau Barudat (Rudat Hadrah), Bawayang Kulit (Wayang Kulit), Bawayang Gong (Wayang Orang), Mamanda dan sebagainya.
f. Sujud
Tiga hari sesudah upacara perkawinan, kedua mempelai kemuadian di bawa ke rumah orang tua pengantin pria untuk sujud kepada orang tua pengantin pria. Malam harinya juga diadakan acara menjagai pengantin dengan maksud untuk menghibur kedua mempelai yang sedang berkasih mesra itu.
Keesokan harinya mereka dibawa lagi ke rumah mempelai wanita untuk selanjutnya tinggal di tempat mempelai wanita bersama orang tua mempelai wanita untuk mengatur kehidupan berumah tangga. Apabila telah mampu untuk mencari nafkah sendiri barulah berpisah dalam artian berpisah dalam hal makan saja, namun tetap tinggal bersama orang tua mempelai wanita.
Begitulah proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh suku Banjar pada masa lalu. Namun pada era globalsasi saat ini tata cara perkawinan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, yang otomatis dianggap tidak sesuai lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti contohnya upacara perkawinan tersebut. Dan juga dianggap terlalu bertele-tele. Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi kita, budaya leluhur yang diajarkan secara turun temurun malah dengan mudahnya kita tinggalkan tanpa ada upaya untuk melestarikannya. Namun, masih ada juga daerah yang tetap melaksanakan prosesi tersebut. Seperti di daerah Margasari Kab. Tapin, di sana masih dilaksanakan prosesi tersebut, namun tidak semuanya dilaksanakan. Maksudnya ada bagian tertentu yang tidak dilaksanakan lagi karena dianggap sudah tidak sesuai.
Pada masa sekarang dalam hal mencari calon isteri tidak lagi pengaruh orang tua berperan penting, sekarang anak muda dalam hal mencari jodoh ditempuh dengan cara pacaran seperti yang telah dikemukakan di bagian awal tadi. Di masyarakat perkotaan sudah jarang yang memakai tata cara perkawinan seperti ini, namun tentu ada saja orang yang tetap melaksanakannya.
Untuk itu peran pemerintah dan masyarakat sangat diharapkan untuk melestarikan kebudayaan yang kita miliki ini. Negara kita terkenal karena kebudayaannya yang unik untuk itu kita sebagai generasi penerus haruslah melestarikan kebudayaan yang kita miliki.


sumber

Iwak Wadi


Iwak Wadi pembuatannya sama persis dengan Manday yaitu pengawetan dengan menggunakan uyah bacurai (garam tanpa yodium). Tahan untuk beberapa tahun. Iwak Wadi sendiri mempunyai sejarah yang panjang. Sejarahnya begini, " arkian habarnya tumatan bahari , nang ngaran urang banjar terkenal merantau sampai ka arab saudi, banyak urang banjar nang alim, sampai manjadi imam di masjidil haram, tutih pang hebatnya urang banjar, memang pada setiap musim haji, bajurut nusia datang ka makkah, mamanuhi panggilan nabi Iberahim, tiada katinggalan juha nang bangaran H.Wadi' tutih satiap tahun balabuh ka makkah, tumataan Kalua hidin batulak bakapal, akhirnya sampai juha katanah haramain, makkah madinah, konon kabarnya H.wadi' tutih naik haji nang ka 40 kalinya hudah, umur sasain tuha, awak sasain lamah, atas kahandak Allah nang kuasa, maninggal juha H.wadi' di Makkah, akhirnya sampai juha habar hidin kakampung bahwa hidin talah tiada, berselang babarapa tahun kamudian, makam H. wadi' tutih digali kambali oleh urang arab. memang sudah manjadi kabiasaan disana, makam nang sudah bertahun-tahun akan selalu digali dan dicari sesuatu nang ajaib,. katika itu, samua mayat nang dikubur beberapa tahun nang lalu , kembali digali dan digali, dari sakian ribu mayit nang dikubur, didapati hanya satu nang kada hancur, "masyaAllah, Subhanallah", jar urang arab, kamudian dicarilah identity sang mayit tersebut. didapati dikantung baju hidin nang masih utuh, salambar KTP dgn nama : H. Wadi' asal Kalua, Kalimantan Selatan, Indonesia, katika itu gemparlah seluruh negri arab , didapati ada sang mayit nang puluhan tahun masih utuh kada sing hancuran, setelah dilakukan salidik punya salidik, nangapa gerangan amalan si mayit itu, hingga jasadnya kada sing hancuran, ternyata didapati fakta bahwa beliau urang Kalua, Kalimantan Selatan nang gawian hidin saumur hidupnya tiada lain dan tiada bukan bausaha IWAK WADIK itulah asalnya kanapa jadi iwak wadi' tuti dikatujui urang,......." (http://mypbm.forumotion.com/pahabaran-nang-puga-f3/ada-apa-sabanarnya-dibalik-rahasia-iwak-wadi-iwak-wadik-t404.htm).
Jadi secara garis besar Iwak Wadi berasala dari seorang Pak Haji yang bernama H. Wadi yang tiap tahun menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah. beliau sendiri berasala dari daerah Kalua (termasuk Kabupaten Tabalong). Ketika menunaikan haji, beliau meninggal dunia dan dikuburkan di tanah suci. Ketika kuburannya dibongkar kembali (sudah jadi kebiassan disana untuk mencari identitas si mayyit), jasad belia tidak hancur. Setelah dicari tahu apa pekerjaan beliau selama hidup, ternyata beliau memunyai usaha berjualan iwak wadi. Mulai saat itu iwak wadi disukai oleh orang.

Mandai

File:Mandai.jpg 
Mandai adalah salah satu menu khas banjar (suku Banjar) yang juga diminati. Terbuat dari kulit tiwadak (cempedak) atau nangka. Saya yakin setiap urang Banjar suka dengan menu ini, biasanya disandingkan dengan cacapan tambah maknyos.
Bahan dan Cara Membuat Mandai:
  1. Kulit Tiwadak Atau Nangka. Kupas  Kulit luar yang runcingnya itu hingga bersih, dan potong kotak2 seukuran 8 x 8, 6×8, 10 x10. Tidak perlu diukur yang penting dipotong-potong.
  1. Potongangan-potongan kulit cempedak atau nangka tadi kemudian ditempatkan ditoples atau wadah apa saja yang bisa ditutup rapat, campurkan air hingga datar dengan tumpukannya kulit tadi, kemudian dikasih garam biar awet.
  1. Kemudian ditutup rapat dan disimpan hingga beberapa hari bahkan bulan
Setelah melalui proses diatas maka kulit nangka atau cempedak tadi sudah berubah namanya menjadi mandai.


Untuk menyantap mandai, harus dimaksak dulu. Sederhana saja, ambil potongan mandai seperlunya, cuci dulu dengan air bersih dan diperah agar tidak terlalu asin, kemudian di goreng

 

Haliling

Haliling adalah sejenis keong kecil yang hidup di air, berwarna kehitam-hitaman, kebiasaan hidupnya pada sawah-sawah pertanian. Haliling dapat dikonsumsi sebagai lauk untuk makan,rasanya gurih dan mengandung gizi yang cukup tinggi.
Haliling biasanya dimasak dengan santan dari kelapa muda ditambah dengan kulit cempedak (manday). Kalau mau mencari haliling untuk dikonsumsi diupayakan mencari ditengah-tengah sawah sebab kalau haliling yang berada dipinggiran dekat dengan pohon bangkal akan terasa pahit lagipula saat ini sapi-sapi digembalakan ditengah persawahan sehingga kotorannya dimakan oleh haliling.
Haliling juga sangat baik juga untuk makanan ternak itik, bagi itik-itik yang memakan haliling cepat bertelur dan cangkang telurnya cepat keras juga telor yang dihasilkan sangat baik.
Haliling juga sama dengan teram, kerang sejenis 
 
 
 
 

Obat Tradisional Banjar

khasiat bawang merah 
Bawang Merah

  1. Khasiat bawang merah untuk perut kembung pada anak
    • Siapkan satu siung bawang merah dipotoh tipis-tipis
    • Minyak kelapa secukupnya
    • Minyak kayu putih secukupnya
    • Campur bawang merah dengan minyak kelapa dan minyak kayu putih, sambil bawang merahnya diremas-remas
    • Oleskan ramuan tersebut pada bagian tubuh perut yang kembung, tangan, dan kaki
  2. Khasiat bawang merah untuk mata ikan dikaki
    • Siapkan bawang merah secukupnya
    • Bersihkan dari kulitnya
    • Rajang tipis-tipis bawang merah yang sudah kita bersihkan tersebut
    • Tempelkan pada bagian kaki yang terkena mata ikan
    • Bungkus dengan perban
    • Dilakukan pada malam hari dan biarkan sampai besok pagi
    • Cuci dengan sabun dan air hangat didaerah bekas mata ikan dikaki
    • Lakukan perawatan tersebut setiap malam sampai mata ikan dikaki hilang
  3. Khasiat bawang merah untuk anak cacingan
    • Siapkan beberapa siung bawang merah secukupnya
    • Bersihkan dari kulitnya
    • Potong kecil-kecil bawang merah tersebut
    • Seduh dengan air dingin dan biarkan selama satu malam
    • Saring ambil airnya, lalu tambahkan madu tawon/lebah
    • Minumkan pada anak-anak yang mengalami cacingan
    • Lakukan dengan rutin sampai cacingan anak kita sembuh
    ————


Daun sirih
————
Daun sirih banyak dipergunakan warga kampung, terutama untuk menginang (makan sisirh) bagi ibu yang suka menginang biasanya tak pernah sakit gigi, dan badan selalu sehat sehingga banyak wanita penginang bersuia lanjut, karena kandungan daun sirih yang membuat badan sehat.
daun sirih juga bisa mengobati wajah pucat agar menjadi wajah berseri,  ambillah 30 lembar daun sirih lalu direbus kemudian air rebusan diminum dua kali sehari pagi dan sore.

pohon pisang
—————-
Bongkol pisang atau pohon pisang banyak pula digunakan warga, seperti dibuat sayuran dan bisa pula sebagai obat penyubur rambut, bongkol pisang diparut lalu diperas airnya dieembunkan satu malam, paginya dipakai untuk keramas.

Lidah buaya
—————–
Lidah buaya banyak digunakan orang untuk aneka manfaat, ada yang dibuat juz atau makanan kecil tapi tak sedikit pula untuk digunakan sebagai obat, antara lain agar rambut lebat, caranya hanya mengoleskan lender lidah buaya pada rambut hingga merata setiap pagi.

Daun Kemangi
——————
Daun kemangi bukan saja enak dibuat sayuran atau dimakan begitu saja bersama ikan, juga banyak digunakan untuk berbagai macam obat, salah satunya adalah obat bau badan, caranya daun kemangi dimakan rutin sampai bau badan sembuh, tetapi saat penyembuhan jangan dulu memakan yang membuat bau meransang seperti ikan asin, terasi, dan makanan permentasi.

Kembang sepatu
——————-
Tanaman Kembang sepatu juga sering digunakan penduduk setempat untuk obatan berbagai macam penyakit tetapi yang sering terlihat digunakan untuk penghitam rambut, caranya kembang sepatu ditumbuk halus tambahkan air dua gelas dan disaring lalu air nya dipakai untuk keramas
Kembang sepatu juga digunakan untuk pelancar melahirkan, caranya daun kembang sepatu satu gemgam dicampur dengan serbuk kayu manis satu sendok dan gula aren secukupnya, caranya ramuan ditumbuk  hingga halus kemudian diperas dan air perasan diminum saat hendak melahirkan.

Kencur
———–
Tanaman kencur begitu banyak tumbuh dikampungku, dan tanaman ini benar-benar serba guna selain untuk bumbu dapur juga untuk aneka obat kesehatan, antara lain agar badan tetap sehat dan segar, caranya kencur dicampur cabe setengah gemgam, lempuyang gajah satu gemgam dan kencur satu gemgam ditumbuk diberi air masak dua gelas, lalu diperas air perasan dicampur gula dan asam jawa diminum pagi dan sore.

Daun Pepaya
—————–
Daun pepaya sering digunakan untuk sayuran tetapi tak sedikit digunakan untuk obat, khususnya untuk kewanitaan, bila daun pepaya sering dikonsumsi wanita maka wanita menjadi leget dan peret.

Kunyit (janar)
——————
Kunyit banyak tumbuh dikampung halamanku,  selain dibuat bumbu dapur juga pati sari tanaman ini sering digunakan untuk membuat bahan kue atau penganan rasanya seperti agar2, kunyi banyak pula digunakan untuk pengobatan seperti penyakit maag, penambah nafsu makan, obat penyakit kuning (liver) atau obat mengobati keputihan.
untuk pengobatan keputuhan kunyit  tiga potong ditambah madu murni dua sendok, telur ayam kampung satu butir, jeruk tipis sebuah dan daun asam satu gemgam, caranya ramuan direbus dua gelas tinggal satu gelas, dicampur kuning telur,  jeruk tipis dan madu diaduk diminum tiap pagi.

buah pinang
—————
Buah pinang banyak tumbuh di kampungku dan banyak manfaatnya, selain untuk teman makan sirih buah pinang banyak digunakan untuk  obat-obatan tradisi seperti untuk kewanitaan, dan juga untuk menyembuhkan bau mulut
menyembuhkan bau mulut pinang lima gram dicamput adas liga gram kencur satu ruas jari dan daun sirih lima helar, caranya pinang dan kencur diiris kemudian semua bahan direbus dengan air secukupnya hingga mendidih, setelah dingin  minum airnya saja ampasnya dibuang.

Jeruk Purut
————–
Jeruk purut banyak pula digunakan warga kampungku selain untuk bumbu makanan juga untuk obat-obatan antaranya untuk obat kelelahan atau kepayahan.
Caranya jeruk purut diperas diambil airnya ditambahkan sedikit air dan diminum saat badan tidak segar, bila kemasaman bisa ditambah sedikit gula diminum dua hari sekali.

Jeruk nipis
————–
Jeruk nipis banyak dimanfaatkan dikampungaku untukpenyedap makanan dan untuk minuman juz, tetapi kebanyakan dibuat obat-obatan tradisi antara untuk menormalkan suara yang lagi serak.
Caranya jeruk tipis diperas airnya dicampur sedikit kapur sirih sedikit garam dapur dan sesendok madu murni setelah diaduk rata lalu diminum sebelum tidur malam.

Daun Seledri
—————–
Daun Seledri atau yang disebut oleh warga kampung aku sebagai daun sup banyak ditanam di pekarangan, kegunaan sehari-hari untuk penyedap sayur sop ayam sop daging atau sop ikan, tetapi tak sedikit pula untuk obat tradisional seperti air perasannya untuk menurunkan tekanan darah tinggi atau panas dalam.
Kemudian daun ini digunakan untuk mengatasi kulit berminyak caranya daun ini diiris2 kecil lalu dimasukan dalam mangkok air mendidih biarkan 20 menit kemudian air tersebut disimpan di lemari es setelah itu, gunakan saat malam hari caranya oleskan air ini kemuka biarkan beberapa menit kemudian baru dibilas.

Mentimun
—————
Mentimun yang oleh warga kami disebut Bilungka banyak ditanam dan dimanfaatkan untuk sayuran atau teman makan rujak, tapi tak sedikit pula untuk obat terutama menurunkan tekanan darah tinggi dengan cara meminum air perasan buah mentimun.
Selain itu mentimun juga digunakan untuk menghaluskan kulit ambil mentimun dan diiris-iris tipis lalu irisan itu ditempelkan pada kulit muka beberapa waktu atau air perasan dioleskan kemuka
Obat pusing2 atau berputar (pertigo)
kapullaga,  kayu manis, jahe,  cengkeh direbus dari dua gelas menjadi segelas, airnya diminum sekali sehari, insya allah sembuh
obat kesusuban (tetusuk duri atau kayu) di kulit.
Caranya ambil getah pohon  bunga kamboja, teteskan ke lokasi dimana klit tertusukmaka biarkan sebentar akhirnya duri atau kayu tersebut agak keluar kulit hingga mudah di cabut atau diambil.

Kain Sasirangan, kerajinan khas daerah Kalimantan Selatan

kain sasirangan1 Kain Sasirangan, kerajinan khas daerah Kalimantan Selatan 
Kain sasirangan yang merupakan kerajinan khas daerah Kalimantan Selatan (Kalsel) menurut para tetua masyarakat setempat, dulunya digunakan sebagai ikat kepala (laung), juga sebagai sabuk dipakai kaum lelaki serta sebagai selendang,  kerudung, atau udat (kemben) oleh kaum wanita. Kain ini juga sebagai pakaian adat dipakai pada upacara-upacara adat, bahkan digunakan pada pengobatan orang sakit. Tapi saat ini, kain sasirangan peruntukannya tidak lagi untuk spiritual sudah menjadi pakaian untuk kegiatan sehari-hari, dan merupakan ciri khas sandang dari Kalsel. Di Kalsel, kain sasirangan merupakan salah satu kerajinan khas daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang (bahasa setempat) yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah bahasa jahit menjahit dismoke/dijelujur. Kalau di Jawa disebut jumputan. Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori, polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian disapu dengan bermacam-macam warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan suatu bahan busana yang bercorak aneka warna dengan garis-garis atau motif yang menawan.
Proses Pembuatan Kain Sasirangan
Pertama menyirang kain, Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif kain adat, lantas disirang atau dijahit dengan tangan jarang-jarang/renggang mengikuti motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya dengan tujuan untuk mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut dengan rapat dan kain sudah siap untuk masuk proses selanjutnya.
Kedua penyiapan zat warna, Zat warna yang digunakan adalah zat warna untuk membatik. Semua zat warna yang untuk membatik dapat digunakan untuk pewarnaan kain sasirangan. Tapi zat warna yang sering  digunakan saat ini adalah zat warna naphtol dengan garamnya. Bahan lainnya sebagai pembantu adalah soda api (NaOH), TRO/Sepritus, air panas yang mendidih. Mula-mula zat warna diambil secukupnya, kemudian diencerkan/dibuat pasta dengan menambahkan TRO/Spirtus, lantas diaduk sampai semua larut/melarut. Setelah zat melarut semua, kemudian ditambahkan beberapa tetes soda api dan terakhir ditambahkan dengan air panas dan air dingin sesuai dengan keperluan. Larutan harus bening/jernih. Untuk melarutkan zat warna naphtol sudah dianggap selesai dan sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan.
Untuk membuat warna yang dikehendaki, maka zat warna naphtol harus ditimbulkan/dipeksasi dengan garamnya. Untuk melarutkan garamnya, diambil sesuai dengan keperluan kemudian ditambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk kuat-kuat sehingga zat melarut semua dan didapatkan larutan yang bening. Banyaknya larutan disesuaikan dengan keperluan. Kedua larutan yaitu naphtol dan garam sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan, yaitu dengan cara pertama-tama mengoleskan/menyapukan zat warna naphtol pada kain yang telah disirang yang kemudian disapukan lagi/dioleskan larutan garamnya sehingga akan timbul warna pada kain sasirangan yang sudah diolesi sesuai dengan warna yang diinginkan. Setelah seluruh kain diberi warna, kain dicuci bersih-bersih sampai air cucian tidak berwarna lagi.
Kain yang sudah bersih, kemudian dilepaskan jahitannya sehingga terlihat motif-motif bekas jahitan diantara warna-warna yang ada pada kain tersebut. Sampai disini proses pembuatan kain sasirangan telah selesai dan dijemur salanjutnya diseterika dan siap untuk dipasarkan.

 

Presiden SBY dan ibu Ani SBY menggunakan kain Sasirangan khas Kalsel


Tatanjuk, (Tutujah, Asak)







Tatanjuk merupakan alat pertanian tradisional masyarakat Banjar di daerah Kalimantan Selatan. Para petani di wilayah tersebut menggunakan peralatan ini untuk membuat lubang sebagai tempat untuk menanam bibit padi pada sawah dataran tinggi maupun dataran rendah.

1. Asal-usul

Tatanjuk merupakan alat pertanian tradisional yang digunakan oleh masyarakat Banjar di wilayah Kalimantan Selatan. Alat ini digunakan untuk membuat lubang di tanah yang selanjutnya akan ditanami bibit padi. Tatanjuk digunakan pada lahan pertanian baik di dataran tinggi maupun dataran rendah.
Lahan pertanian berupa sawah dapat dibagi menjadi dua berdasarkan kondisi tinggi rendahnya dataran, yaitu sawah dataran tinggi dan sawah dataran rendah (Agus Triatno, ed. 1991/1992: 19). Perbedaan ketinggian di antara kedua lahan pertanian tersebut berpengaruh terhadap cara para petani menggarap sawah dan jenis peralatan yang digunakan.
Peralatan tatanjuk digunakan secara luas oleh masyarakat Banjar Batang Banyu di kawasan Hulu Sungai hingga saat ini. Ada sebagian masyarakat yang menyebut peralatan ini “tutujah” sementara sebagian yang lain memberikan nama “asak” (Ikhlas Budi Prayogo, 1998/1999: 11). Tatanjuk mempunyai fungsi sama dengan tutugal atau tugal dalam bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 1552) mengartikan “tugal” sebagai tongkat kayu yang runcing untuk membuat lubang yang akan ditanami benih.
Bentuk dan cara penggunaan tatanjuk dan tutujah berbeda meskipun keduanya mempunyai fungsi yang serupa. Tutujah berupa batangan kayu sebesar genggaman tangan orang dewasa yang lurus dan bundar. Panjang alat ini antara 50 cm hingga 70 cm. Sementara itu, tatanjuk berukuran lebih pendek, sekitar 50 sampai 60 cm. Bentuk tatanjuk pun lebih variatif. Variasi bentuk tatanjuk pada umumnya terletak pada bagian hulu tatanjuk yang menjadi pegangan. Bentuk bagian ini pula yang menjadi dasar penamaan masing-masing tatanjuk, misalnya Tatanjuk Burung, Tatanjuk Wayang, Tatanjuk Purus “T”, Tatanjuk Ayam, dan sebagainya.
Bentuk dasar atau pola dasar tatanjuk sebenarnya sederhana. Peralatan ini hanya berupa batang kayu bundar yang bengkok atau dibengkokkan di bagian hulunya dan diruncingkan pada bagian ujungnya. Tatanjuk dengan bentuk seperti ini paling mudah dibuat karena tidak terlalu rumit dan tidak membutuhkan kecermatan yang tinggi dari pembuatnya. Tentu saja tatanjuk tampak kurang bernilai jika diukur dari nilai seni, kreativitas, dan keindahan.
Bentuk dasar tatanjuk, yang hanya seperti kayu bengkok itu, kemudian berkembang berbagai macam bentuk tatanjuk. Perkembangan bentuk tatanjuk dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat.

2. Jenis-jenis Tatanjuk

Masyarakat Banjar menggunakan beberapa jenis tatanjuk. Buku Alat Pertanian Tatanjuk Wayang Koleksi Museum Lambung Mangkurat (1998/1999) dan Koleksi Alat-alat Pertanian Tradisional Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat (1991/1992) menyebutkan jenis-jenis tatanjuk sebagai berikut.
a. Tatanjuk Purus “T”
Tatanjuk jenis ini terdiri dari dua bagian, yaitu batang kayu silindris yang diruncingkan di bagian ujungnya dan batang kayu yang lain di bagian hulu. Keduanya berpotongan secara vertikal dan horisontal. Batang kayu di bagian hulu lebih pendek dibanding batang yang runcing dan sedikit melengkung ke atas. Batang ini dinamakan “purus”. Untuk menyatukan kedua bagian tersebut, bagian purus dilubangi sedangkan pada bagian batang silindris diberi tonjolan mengikuti bentuk dan ukuran lubang pada purus. Keduanya kemudian dipasangkan secara berpotongan hingga membentuk huruf “T”.
b. Tatanjuk Bengkok
Tatanjuk Bengkok dibuat dari batang kayu tunggal tanpa sambungan. Bagian pegangan pada hulu tatanjuk ini berbentuk melengkung hingga 45 derajat di bagian hulunya. Bagian tengah batang tatanjuk lebih besar daripada bagian hulu. Semakin mendekati ujung tatanjuk, badan tatanjuk semakin kecil, kemudian menjadi runcing di bagian ujungnya. Panjang Tatanjuk Bengkok sekitar 60 cm dan lebar atau panjang hulu yang melengkung sekitar 8 cm. Tatanjuk ini memiliki tingkat kerumitan yang paling rendah dan paling sederhana dibanding jenis tatanjuk yang lain. Tatanjuk Bengkok pada umumnya digunakan oleh masyarakat di lahan pertanian pasang-surut.

Tatanjuk Bengkok, bentuk tatanjuk paling sederhana
Sumber: Agus Triatno, ed., 1991/1992. Koleksi Alat-alat Tradisional Museum
Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat.
Banjarmasin: Bagian
Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan., h. 87.
c. Tatanjuk Purus Samping
Tatanjuk Purus Samping terdiri dari dua batang kayu yang disatukan. Kedua batang kayu tersebut digabungkan dengan cara membuat lubang pada bagian sisi kayu yang berujung runcing, kemudian batang kayu yang lain digabungkan dengan batang yang berujung runcing dengan posisi mendatar. Batang mendatar inilah yang nantinya akan menjadi tempat untuk memegang peralatan tersebut.
d. Tatanjuk Pegangan Tempel
Tatanjuk Pegangan Tempel merupakan bentuk gabungan antara batang berbentuk bundar yang lancip ujungnya dan bagian lain berupa kayu yang bercabang. Batang kayu silindris dicungkil setebal sepertiga bagian kayu di sisinya. Lebar dan dalam cungkilan tersebut disesuaikan dengan ukuran kayu bercabang yang akan digabungkan. Batang kayu yang bercabang kemudian ditempelkan pada kayu berbentuk silindris, lalu direkatkan dengan menggunakan lem dan dipaku.
e. Tatanjuk Cor Kuningan
Tatanjuk jenis ini tetap berbahan dasar kayu, akan tetapi ada bahan tambahan yang lain yaitu kuningan. Bahan kuningan digunakan untuk membuat hulu dan membalut bagian ujung tatanjuk. Hal inilah yang menjadi dasar penamaan Tatanjuk Cor Kuningan. Batang silindrisnya tetap terbuat dari kayu ulin yang dimasukkan kedua ujungnya pada kuningan yang telah disiapkan.
f. Tatanjuk Burung
Tatanjuk ini merupakan perkembangan dari tatanjuk jenis purus “T”. Tempat pegangan bagian atas tatanjuk tersebut dibentuk seperti burung yang sedang hinggap di atas dahan. Sama seperti jenis tatanjuk yang lain, alat ini juga terdiri dari dua bagian—kayu silinder lurus yang berujung runcing dan pegangannya yang berbentuk burung—yang disatukan. Bentuk ekor, badan, kepala dan paruh membentuk sebuah garis mendatar. Kepala burung berbentuk segitiga dengan paruh panjang menghadap ke depan.
Tatanjuk Burung terbuat dari kayu ulin dengan panjang batang silindris sekitar 50 cm. Ukuran panjang tubuh burung, dari kepala sampai ekor, yaitu sekitar 28 cm. Tatanjuk ini banyak digunakan oleh masyarakat Kabupaten Tapin pada areal persawahan dataran rendah.
g. Tatanjuk Ayam
Alat ini merupakan variasi bentuk yang lain dari tatanjuk. Pada bagian atas atau hulu tatanjuk terdapat pegangan yang berbentuk seperti ayam. Bentuk ayam pada tatanjuk ini berbeda dengan bentuk burung pada Tatanjuk Burung yang mempunyai bagian-bagian lengkap. Bentuk ayam yang tampak pada Tatanjuk Ayam adalah badan, kepala, dan paruh. Bagian ekor tidak dibuat. Bentuk badan ayam pada tatanjuk ini berpotongan secara horisontal-vertikal dengan batang kayu silindris yang runcing. Bentuk leher memanjang ke atas mengikuti batang silindris. Kepala ayam pada peralatan ini menghadap ke depan dengan ukuran paruh lebih pendek daripada bentuk paruh pada Tatanjuk Burung. Ukuran Tatanjuk Ayam hampir sama dengan Tatanjuk Burung, yaitu panjang sekitar 40 cm dan lebar atau panjang badan sampai kepala ayam mencapai 17 cm. Peralatan ini digunakan oleh masyarakat petani Banjar Kabupaten Tapin untuk menggarap lahan persawahan yang banyak mengandung air.
h. Tatanjuk Kuda Gepang
Secara umum, bentuk Tatanjuk Kuda Gepang masih mengikuti pola dasar tatanjuk. Bedanya adalah bentuk batang kayu yang melintang di bagian hulu tatanjuk tersebut menyerupai kuda gepang. Bentuk kuda dalam tatanjuk ini meniru bentuk kuda pada tarian Kuda Gepang yang merupakan tarian tradisional Kalimantan  Selatan. Bentuk kuda dalam Tatanjuk Kuda Gepang miring ke depan. Di bagian perut bawah bentuk kuda tersebut dibuatkan lubang untuk menyatukan bagian hulu dan bagian batang tatanjuk. Bentuk batang tatanjuk seperti bentuk pisau, satu sisinya lurus ke bawah dan sisi yang lain melengkung hingga runcing di ujung tatanjuk itu.

Tatanjuk Kuda Gepang
Sumber: Ikhlas Budi Prayogo, et.al., 1998/1999.
Alat Pertanian Tatanjuk Wayang Koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Banjarmasin: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman
Kalimantan Selatan., h. 16.
i. Tatanjuk Wayang
Tatanjuk Wayang mempunyai nilai seni dan tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis tatanjuk lain. Kerumitan tersebut terletak pada ukiran yang membentuk karakter tokoh dalam pewayangan. Tatanjuk Wayang mempunyai dua bagian, yaitu badan silindris yang berujung runcing dan bagian hulu berbentuk wayang kulit.
Wayang dalam tatanjuk tersebut mempunyai bentuk pinggang panjang. Bagian inilah yang menjadi pegangan. Kedua tangan wayang dibentuk bersedekap atau bertolak pinggang. Kepala bagian belakang memakai gelung supit udang menghadap ke atas, dan memakai dodotan manggaran. Beberapa karakter tokoh yang digunakan dalam Tatanjuk Wayang adalah Bima, Arya Bukbis, Batara Kamajaya, Patih Raden Satyaki, Arjuna, Hanoman Pancasona, Narasakia, Wibisana, Arya Gepang, Bambang Sumantri, Batara Waruna, Antareja, Hamonan, Gareng, Pancasona, Misarhana, dan sebagainya. Bentuk tokoh wayang dalam tatanjuk tersebut kadang berbeda meskipun tokohnya satu. Misalnya, Tatanjuk Wayang berbentuk tokoh Arjuna bisa mempunyai dua bentuk dan lekuk relief yang berbeda, meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu mendasar.
Para pembuat Tatanjuk Wayang menguatkan karakter tokoh yang mereka buat dengan memahatnya, kemudian mengecat wayang tersebut dengan warna merah jambu, kuning, cokelat, hijau, hitam, putih, atau warna lain menurut kebutuhan karakter tokohnya. Posisi wayang dalam peralatan tersebut seperti posisi wayang pada pentas yang sesungguhnya: miring antara 30 hingga 40 derajat.
Banyaknya karakter tokoh yang menjadi bentuk Tatanjuk Wayang ini membuat para petani bebas memilih karakter tokoh yang menjadi idolanya. Selain itu, pemilihan karakter tokoh mencerminkan apa yang menjadi harapan petani terhadap hasil panennya di kemudian hari. Suku Banjar Pahuluan, terutama masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, merupakan suku yang banyak menggunakan peralatan Tatanjuk Wayang. Mereka adalah masyarakat Banjar yang tinggal di daerah perbukitan. Oleh karena itu, Tatanjuk Wayang pada umumnya digunakan untuk menggarap sawah di dataran tinggi.

Tatanjuk Wayang
Sumber:
Agus Triatno, ed., 1991/1992.
Koleksi Alat-alat Tradisional Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan
Lambung Mangkurat.
Banjarmasin: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman
Kalimantan Selatan., h. cover.

3. Bahan, Peralatan, dan Cara Pembuatan

Cara membuat peralatan tatanjuk adalah sebagai berikut.

a. Bahan

Bahan yang baik untuk membuat tatanjuk adalah kayu ulin (eusideroxylon zwageri). Pohon ulin banyak terdapat di hutan-hutan Kalimantan, Jambi, Bangka dan Belitung, dan Sumatra Selatan. Kayu ulin mempunyai nama lain kayu besi atau bulian. Pohon ulin tumbuh di lahan berketinggian antara 5 hingga 400 m di atas permukaan laut, baik pada daerah yang datar ataupun miring. Keunggulan kayu ulin dibanding jenis kayu yang lain adalah kuat, keras, awet, tahan terhadap rayap dan penggerek, tahan terhadap perubahan suhu dan kelembaban, tahan terhadap air laut, apalagi air tawar.

b. Peralatan

Peralatan yang dibutuhkan untuk membuat tatanjuk adalah alat-alat pertukangan. Peralatan tersebut adalah gergaji, tatah biasa dan tatah ukir, palu, banci (nama salah satu alat tukang kayu; bentuknya mirip cangkul, dalam Kamus Bahasa Indonesia, 2008 diartikan sebagai: patil besar untuk menarah kayu), amplas kasar dan halus, dan peralatan lain sesuai kebutuhan.

c. Cara Pembuatan

  1. Langkah yang paling awal dilakukan adalah mencari bahan untuk membuat tatanjuk. Kayu ulin yang baik untuk membuat tatanjuk adalah kayu ulin yang sudah tua dan kering. Kayu yang sudah tua dan kering biasanya lebih kuat dan tahan lama. Ukuran kayu tergantung pada kebutuhan dan jenis tatanjuk yang akan dibuat. Setelah mendapatkan bahan, langkah selanjutnya adalah memotong kayu tersebut dengan panjang antara  50-60 cm.
  2. Bahan kayu dibentuk menjadi tatanjuk yang diinginkan. Pembentukan batang kayu menjadi bentuk tatanjuk dilakukan dengan menggunakan banci. Jika tidak ada banci, parang dapat digunakan.
  3. Bentuk tatanjuk dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kreativitas si pembuat. Semakin rumit bentuk tatanjuk, maka kebutuhan akan daya seni,  kreativitas, dan kesabaran semakin tinggi. Bentuk Tatanjuk Wayang mungkin adalah yang paling membutuhkan ketekunan dan kreativitas tinggi. Lekuk relief harus serupa dengan karakter tokoh wayang yang sebenarnya. Peralatan untuk membuat Tatanjuk Wayang, selain menggunakan tatah biasa, seringkali juga harus ditambah dengan tatah khusus untuk mengukir. Menatah bentuk tatanjuk harus dengan hati-hati agar kayu tidak pecah meskipun pada dasarnya kayu ulin adalah kayu yang kuat.
  4. Proses selanjutnya adalah memasang bagian-bagian utama tatanjuk, yaitu batang dan hulu. Agar kedua bagian ini merekat dengan kuat, kedua bagian ini dapat direkatkan dengan menggunakan lem kayu serta dipaku agar bertambah kuat.
  5. Langkah terakhir adalah menghaluskan tatanjuk. Beberapa tatanjuk, semisal Tatanjuk Wayang, dapat pula dicat agar mendapatkan karakter tokoh wayang yang indah dan jelas. Tatanjuk dihaluskan dengan menggunakan amplas, mula-mula dengan amplas kasar kemudian dilanjutkan dengan amplas halus.

Pembuatan Tatanjuk Purus Samping

Sumber: Ikhlas Budi Prayogo, et.al., 1998/1999.
Alat Pertanian Tatanjuk Wayang Koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Banjarmasin: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman
Kalimantan Selatan., h. 14.

4. Cara Penggunaan

Tatanjuk digunakan dengan secara langsung dengan menggunakan tangan. Tatanjuk dipegang dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri memegang benih padi yang akan ditanam. Mula-mula, tatanjuk ditunjamkan ke tanah kemudian dicabut kembali. Setelah itu, seenggan rumpun bibit padi dimasukkan ke lubang yang baru saja dibuat. Setelah bibit padi tertanam dengan kokoh, lubang dapat ditutup kembali dengan menggunakan tanah yang berada di sekelilingnya. Jarak tanam antara satu rumpun bibit padi dengan yang lain dibuat tidak terlalu renggang dan tidak terlalu rapat. Petani menanam padi dengan cara ini sambil bergerak mundur.

5. Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan tatanjuk adalah sebagai berikut.
  • Bahan untuk membuat peralatan ini mudah didapat di sekitar tempat tinggal para petani. Para petani dapat membuat sendiri alat ini. Selain itu, alat-alat untuk membuat tatanjuk juga dimiliki oleh banyak tukang kayu.
  • Peralatan ini tidak membutuhkan perawatan khusus.
  • Tatanjuk tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
  • Tatanjuk memiliki nilai seni dan keindahan yang tinggi.
Kekurangan tatanjuk adalah sebagai berikut:
  • Tidak efisien. Bercocok tanam menggunakan peralatan tradisional biasanya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibanding peralatan modern.
  • Para petani yang menggunakan peralatan ini akan menjadi lelah karena peralatan ini sepenuhnya mengandalkan tenaga manusia.
  • Jika kayu yang digunakan sebagai bahan pembuat tatanjuk bukan kayu yang berkualitas, maka peralatan tersebut akan mudah lapuk atau dimakan rayap.
6. Nilai-nilai
  • Nilai guna. Tatanjuk tersebut berguna bagi masyarakat petani sebagai peralatan yang meringankan dan memudahkan proses kerja mereka.
  • Nilai ekonomi. Peralatan ini menggunakan bahan yang mudah didapatkan di sekitar tempat tinggal para petani sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu banyak pada saat bercocok tanam. Para petani juga bisa membuat sendiri peralatan tersebut dengan bahan dan peralatan yang sederhana. Dengan demikian, para petani bisa menekan biaya bercocok tanam. Biaya pertanian harus ditekan sekecil mungkin karena hasil panen sering tidak dapat mengimbangi besarnya biaya yang telah dikeluarkan.
  • Nilai magis. Tatanjuk bukan sekadar peralatan biasa yang bertugas membantu pekerjaan para petani. Beberapa tatanjuk mengandung nilai-nilai tertentu yang mencerminkan keyakinan dan pandangan hidup masyarakat. Tatanjuk Wayang dengan jelas menggambarkan hal tersebut. Karakter tokoh dalam dunia pewayangan yang dipilih seorang petani menjadi simbol pandangan hidupnya. Wayang, dalam peralatan tatanjuk, juga menjadi simbol semangat dan etos kerja bagi yang menggunakannya. Motif tokoh wayang yang dipilih oleh para petani menjadi semacam sugesti bahwa ketika panen kelak mereka akan memperoleh hasil pertanian yang melimpah. Selain itu, bentuk karakter wayang juga menjadi simbol kekuatan yang akan mengusir gangguan hama (Ikhlas Budi Prayogo, 1991/1992: 46-47).
  • Nilai seni dan kreativitas. Bentuk tatanjuk, mulai dari bentuk yang paling sederhana hingga ke bentuk yang paling rumit, mempunyai nilai seni dan kreativitas tinggi. Bermacam-macam bentuk tatanjuk merupakan wahana bagi para petani untuk menyalurkan kreativitas, ketekunan, kesabaran, dan bahkan bakat seni mereka. Kerumitan pada jenis tatanjuk tertentu menjadi tantangan tersendiri bagi pembuat tatanjuk untuk menyalurkan kreativitasnya. Tentu saja tingkat kerumitan antara jenis tatanjuk satu dengan yang lain berbeda.
  • Nilai pelestarian budaya. Para petani yang menggunakan tatanjuk berarti turut melestarikan kearifan lokal dan nilai tradisi dan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Penggunaan peralatan tatanjuk memiliki nilai pelestarian budaya. Bentuk-bentuk tatanjuk yang mencerminkan simbol alam, misalnya ayam dan burung, hendak menyatakan bahwa alam harus senantiasa dijaga dan dilestarikan. Bentuk Tatanjuk Kuda Gepang dan Tatanjuk Wayang, yang menjadi simbol budaya, menjadi “pengingat” bahwa kebudayaan harus dilestarikan dan dikembangkan.

7. Penutup

Modernisasi menyebar ke mana-mana termasuk dalam bidang pertanian. Pertanian dengan cara-cara tradisional saat ini mulai banyak ditinggalkan orang. Penggunaan peralatan pertanian modern bukan tidak baik, namun tentu saja ada sisi buruknya. Penggunaan tatanjuk sebagai peralatan pertanian perlu dilestarikan atau digalakkan kembali untuk meredam sisi-sisi buruk pertanian modern sekaligus melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dan kebudayaan bangsa.
(Mujibur Rohman (bdy/02/06-2010)
Sumber: http://myrasta.wordpress.com
Referensi
Agus Triatno, ed., 1991/1992. Koleksi Alat-alat Tradisional Museum Negeri Propinsi Kalimantan Selatan Lambung Mangkurat. Banjarmasin: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan.
Ikhlas Budi Prayogo, et.al., 1998/1999. Alat Pertanian Tatanjuk Wayang Koleksi Museum Lambung Mangkurat. Banjarmasin: Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Kalimantan Selatan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Anonim, 2009. “Mengenal Kayu Ulin”. [Online]. Tersedia di:  http://sudarjanto.multiply.com [Diunduh pada 8 Juni 2010]


tatanjang.